KH Muhammad
Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau
dikenal sebagai pengamal thoriqot Syadziliyah dan melahirkan banyak santri
berkelas. Mbah Dim begitu orang
memangilnya. Nama lengkapnya adalah Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin.
Dikenal sebagai ulama yang sangat
kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar
hingga mancanegara. Abuya dimyati orang
Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal
menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia
sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar
Watucongol. Perjuangannya yang patut
diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh
yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919 dikenal pribadi bersahaja dan
penganut tarekat yang disegani. Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru
pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah.
Pondoknya di
Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari
ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal
sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten
menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal
sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut
thoriqot SYADZILIYAH. Tidak salah kalau
sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar diseluruh penjuru
tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah
sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang
namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding
dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula
Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para
petinggi negeri. Majelis Seng inilah
yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga
sampai wafatnya.
Abuya
berguru pada ulama-ulama sepuh ditanah Jawa. Di antaranya Abuya
Abdul
Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama
Sempur),
Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah
Khozin
Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan
masih
banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syaikh
Nawawi
al Bantani.
Kata
Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria
kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah
Abuya berguru, tak lama
kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika
mondok diWatucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar.
Satu
kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar
memberi kabar kepada santri-santri besok akan
datang “kitab banyak”.
Dan
hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di
tempat
beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau
banyak
mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya
lebih
di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i
annya
di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan
santri
mengaji. Alam Spritual Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya
Dimyati
ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Dalam
setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke
pesantren yang lain selalu dengan kegiatan
Abuya mengaji dan mengajar.
Hal
inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang
komplet karena tidak hanya mampu mengajar
kitab tetapi juga dalam ilmu
seni
kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan
semua
jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally,
naskhy
dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu
membaca al-Quran.
Bagi
Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati
Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap
bahwa belum pernah
seorang kiai yang ibadahnya luar biasa.
Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak
pernah menyia-nyiakan
waktu.
Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah
istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung
mengajar lagi hingga Ashar.
Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga
Maghrib. Kemudian wirid
hingga
Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam, Setelah
itu
melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika
bermaksud mengaji di
KH.Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya,
Abuya malah disuruh
pulang. Namun Abuya justru semakin
mengebu-gebu untuk menuntut ilmu.
Sampai
akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu
apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya
Dimyati memohon diwarisi
thariqah. KH.Baidlowi pun menjawab,” Mbah Dim,
dzikir itu sudah
termaktub dalam kitab, begitu pula dengan
selawat, silahkan memuat
sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena
tarekat itu adalah
sebuah
wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban
tersebut justru membuat Abuya Dimyati
penasaran. Untuk kesekian
kalinya
dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai
Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat
istikharah. Setelah melaksanakan
solat
tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH
Baidlowi yang kemudian diijazahi Thoriqot
Asy-Syadziliyah.
Dipenjara Dan Mbah Dalhar Mah Dim dikenal
seagai salah satu orang yang
sangat
teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini
pernah
dipenjara pada zaman Orde Baru.
Pada
tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara.
Hal ini
disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah
ketika
terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti
pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama
enam bulan. Namun empat
bulan
kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya
Dimyati, Diantaranya
adalah
Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib
nashr
dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M.
Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya
khususiyat sahabat saat
perang
Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan
tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II
yang juga sama isinya yaitu
menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam
Tijanud Darori. Kemudian
kitab
tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah
didalamnya membahas tentang thoriqot
Syadziliyyah. Ada cerita-cerita
menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan
para kiai besar.
Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar
Watucongol Abuya sempat
kaget.
Hal
ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan
dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke
40 Abuya dipanggil Mbah
Dalhar.
“Sampeyan mau jauh-jauh datang kesini?”
tanya
kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.”
Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu
sampeyan ketahui, bahwa
disini
tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan.
Dari
pada sampeyan mondok disini buang-buang waktu, lebih baik
sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu
yang sudah ada dan
syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu.
Karena kitab tersebut masih
perlu
diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati
menjawab, ”Tujuan saya ke
sini
adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi?
Kalau
saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?
Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah,
kalau sampeyan mau tetap
di
sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang
ada
disini dan sampeyan jangan punya teman.
Kemudian
Kiai Dalhar memberi ijazah thoriqot Syadziliyah kepada Abuya.
Namun,
Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya
Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat
pahing, 3 Oktober 2003
M/07
Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul
Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH.
Muhammad Dimyati bin KH.Muhammad Amin
Al-Bantani, di Cadasari, Cidahu
Pandeglang, Banten.
0 comments:
Post a Comment