Pages

Thursday, October 3, 2013

Biografi ABUYA DIMYATI Banten




KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal thoriqot Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas.  Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnya adalah Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat
 kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara.  Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah. Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol.  Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani. Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah.
Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai.  Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut thoriqot SYADZILIYAH.  Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar diseluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri.   Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
 Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh ditanah Jawa. Di antaranya Abuya
 Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama
 Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah
 Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan
 masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syaikh
 Nawawi al Bantani.
 Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria
 kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama
 kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok diWatucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar.
 Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar
 memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang “kitab banyak”.
 Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di
 tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau
 banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya
 lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i
 annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan
 santri mengaji. Alam Spritual Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya
 Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke
 pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar.
 Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang
 komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu
 seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan
 semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally,
 naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu
 membaca al-Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati
 Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah
 seorang kiai yang ibadahnya luar biasa.
 Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan
 waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah
 istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar.
 Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid
 hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam, Setelah
 itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.

Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di
 KH.Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh
 pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu.
 Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu
 apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi
 thariqah. KH.Baidlowi pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah
 termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat
 sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah
 sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban
 tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian
 kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai
 Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan
 solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH
 Baidlowi yang kemudian diijazahi Thoriqot Asy-Syadziliyah.
 Dipenjara Dan Mbah Dalhar Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang
 sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini
 pernah dipenjara pada zaman Orde Baru.
Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara.
 Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah
 ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti
 pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat
 bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati, Diantaranya
 adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib
 nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M.
 Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat
 perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan
 tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu
 menguraikan tentang hidzib Nasr.
 Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian
 kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah
 didalamnya membahas tentang thoriqot Syadziliyyah. Ada cerita-cerita
 menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar.
 Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat
 kaget.
Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan
 dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah
 Dalhar.
 “Sampeyan mau jauh-jauh datang kesini?”
 tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.”
 Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa
 disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan.
 Dari pada sampeyan mondok disini buang-buang waktu, lebih baik
 sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan
 syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih
 perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
 Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke
 sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi?
 Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?
 Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap
 di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang
 ada disini dan sampeyan jangan punya teman.


Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah thoriqot Syadziliyah kepada Abuya.
 Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya
 Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003
 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH.
 Muhammad Dimyati bin KH.Muhammad Amin Al-Bantani, di Cadasari, Cidahu
 Pandeglang, Banten.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.