Muhammad
Shalih bin Umar (1820 M), yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat,
adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa
dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi
ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa
Mekkah saat ia bermukim di sana. Ia dinobatkan menjadi salah seorang pengajar
di Tanah Suci tersebut.
.
Selain itu, ia adalah seorang ulama
yang sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis
ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang
awam, yakni dengan bahasa Jawa.
.
Kelahirannya
Nama lengkapnya Muhammad Shalih bin
Umara al-Shamarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shalih Darat.
Ayahnya Kiai Umar merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan
Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Syada’ dan
Kiai Mutadha Semarang. Kiai Shaih Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng,
Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan
informasi lainnya menyatakan bahwa, Kiai Shaih Darat dilahirkan di Bangsri,
Jepara. Ia wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.
.
Ia disebut Kiai Shaih Darat, karena
ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara
Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat
termasuk wilayah Semarang Barat. Adanya penambahan Darat sudah menjadi
kebiasaan atau ciri dari oang-orang yang terkenal di masyarakat.
.
Kiai-Kiai
Seperjuangan
Sebagai seorang putra Kiai yang
dekat dengan Pangeran Diponegoro, Kiai Shalih Darat mendapat banyak kesempatan
untuk berkenalan dengan teman-teman orang tuanya, yang juga merupakan kiai
terpandang. Inilah kesempatan utama Kiai Shalih Darat di dalam membuat jaringan
dengan ulama senior di masanya, sehingga ketokohannya diakui banyak orang. Di
antara kiai senior yang memiliki hubungan dekat dengan Kiai Shalih Darat
adalah:
.
Kiai Hasan
Bashari ( putra Kyai Nur Iman Mlangi dari
garwa Gegulu ;tambahan oleh ravie ananda ), ajudan Pangeran Diponegoro. Salah
seorang cucunya ( nya yang dimaksud adalah Kiai Hasan Bashari) KH. M. Moenawir,
pendiri pesanten Krapyak Yogyakarta, adalah salah seorang murid Kiai Shalih
Darat.
- Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua orang prajurit Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro tertawan, Kiai Darda’ yang beasal dari Kudus, kemudian menetap di Mangkang Wetan, Semarang bagian barat, dan memnbuka pesantren di sana. Kepadanya, Kiai Shalih Darat pernah menuntut ilmu. Kiai Bulkin, putera Kiai Syada’, dikawinkan dengan Natijah, puteri Kiai Darda’, dan memperoleh anak yang bernama Kiai Tahir. Kyai Tahir ini, cucu kiai Darda’ adalah murid Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.
- Kiai Murtadha, teman seperjuangan Kiai Umar ketika melawan Belanda. Shafiyyah, puteri Kiai Muartadha, dijodohkan dengan Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.
- Kiai Jamasari, prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Solo dan pendiri Pondok pesantren Jamsaren, Surakarta. Ketika kiai Jamsari ditangkap Belanda, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, lalu ditutup. Pesanten tersebut dihidupkan kembali oleh Kiai Idris, salah seorang santri senior Kiai Shalih Darat. Dialah yang menggantikan Kiai Shalih Darat selama ia sakit hingga wafatnya.
Menikah
Selama hayatnya, Kiai Shalih Darat pernah menikah tiga kali. Perkawinannya yang pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinanya pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Kiai Shalih Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Shalih Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.
Selama hayatnya, Kiai Shalih Darat pernah menikah tiga kali. Perkawinannya yang pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinanya pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Kiai Shalih Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Shalih Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.
Perkawinannya yang kedua dengan
Sofiyah, puteri Kiai Murtadha teman karib bapaknya, Kiai Umar, setelah ia
kembali di Semarang. Dari pekawinan ini, mereka dikarunia dua orang putera,
Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan
keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. Sedangkan perkawinannya yang ketiga
dengan Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari perkawinannya
ini, mereka dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah Siti Zahrah. Siti
Zahrah dijodohkan dengan Kiai Dahlan santri Kiai Shalih Darat dari Tremas,
Pacitan. Dari perkawinan ini melahirkan dua orang anak, masing masing Rahmad
dan Aisyah. Kiai Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan
dengan Kiai Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti
Zahrah tidak melahirkan keturunan.
.
Kiai-kiainya
di Tanah Jawa
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa
kecil dan remaja Kiai Shalih Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan
ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa kiai yang
dikunjunginya guna menimba ilmu agama. Mereka adalah :
1. KH.
M. Syahid.
Untuk pertama kalinya Kiai Shalih
Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid, seorang ulama yang memiliki pesantren
Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri.
Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II
(1727-1749M). kepada Kiai M. Syahid ini, Kiai Shaleh Darat belajar beberapa
kitab fiqih. Di antaranya adalah kiab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj
al-Qawwim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.
2. Kiai
Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir
al-Jalalain karya Imam Suyuti.
3. Kiai
Ishak Damaran, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar
Nahwu dan Sharaf.
4. Kiai
Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat ilmu
falak.
5. Kiai
Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar
kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin
karya imam Ghazali.
6. Syekh
Abdul Ghani Bima, Semarang.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar
kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kiab yang
beisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.
7. Mbah
Ahmad ( Muhammad ) Alim Bulus Gebang Purworejo
Kepadanya Kiai Shaleh Darat
mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh
Mbah Ahmad ( Muhammad ) Alim ini, Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain
al-Alim ( putra Mbah Ahmad Alim ), untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh
Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.
Melihat keragaman kitab-kitab yang
diperoleh oleh Kiai Shaleh Darat dari beberapa gurunya, menunjukkan betapa
kemampuan dan keahlian Kiai Shaleh Darat di bidang ilmu agama.
.
Pergi ke
Makkah
Setelah belajar di beberapa daerah
di Jawa, Kiai Shaleh Darat bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji. Ayahnya wafat di Makkah, kemudian Kiai Shaleh Darat menetap di
Makkah beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama. Pada waktu itu, abad ke-19,
banyak santri Indonesia yang berdatangan ke Makkah guna menuntut ilmu agama di
sana. Termasuk Kiai Shaleh Darat. Ia pergi ke Makkah dan bermukim di sana guna
menuntut ilmu agama dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, tidak diketahui
secara pasti tahun berapa ia pergi ke Makkah dan kapan ia kembali ke tanah air.
.
Kiai-Kiainya
di Makkah
Yang jelas, selama di Makkah, Kiai
Shaleh Darat telah berguru kepada tidak kurang dari sembilan ulama setempat.
Mereka adalah :
1.
Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki.
Kepadanya ia belajar ilmu-ilmu aqidah,
khusunya kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi (al-Sanusi).
2. Syekh
Muhammad bin Sulaiman Hasballah.
Ia adalah pengajar di Masjid
al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Shaleh Darat belajar fiqih dengan
menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Khatib, serta Nahwu dengan
menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik.
Sebagaimana tradisi belajar tempo
dulu, setelah menyelesaikan pelajaran-pelajaran tersebut, Kiai Shaleh Darat
juga memperoleh “Ijazah”. Adanya istilah ijazah dikarenakan penerimaan ilmu
tersebut memiliki sanad. Dalam hal ini, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ilmu dari
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah yang memperoleh ilmu tersebut dari
gurunya, Syekh Abdul Hamid a-Daghastani, dan al-Dagastani mendapatkan dari
Ibrahim Bajuri yang mendapatkan ilmunya dari al-Syarqawi, pengarang kitab Syarh
al-Hikam.
3. Al-‘Allamah
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar
Ihya’ Ulum al-Diin. Dari sini ia juga mendapatkan ijazah.
4. Al-‘Allamah
Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki.
Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar
al-Hikam karya Ibnu Atha’illah.
5. Sayyid
Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi.
Darinya, Kiai Shaleh Darat belajar
kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 1 dan 2.
6. Kiai
Zahid.
Darinya Kiai Shaleh Darat juga
belajar kitab Fath al-Wahhab.
7. Syekh
Umar a-Syami.
Darinya Kiai Shaleh Darat juga
belajar kitab Fath al-Wahhab.
8. Syekh
Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri.
Darinya Kiai Shaleh Darat belajar
Syarh al-Tahrir karya Zakaria al-Anshari.
9. Syekh
Jamal, seoang Muftti Madzab Hanafiyyah di Makkah.
Darinya Kiai Shaleh Darat belajar
Tafsir al-Qur’an.
Dari sinilah, Kiai Shaleh Darat
mendapatkan ijazah ketika selesai mempelajari kitab-kitab tertentu, semisal
Fath al-Wahhab, Syarh al-Khatib dan Ihya’ Ulum a-Din. Dari sini pulalah apa
yang dipelajari Kiai Shaleh Darat dari kitab-kitab tersebut, berpengaruh besar
terhadap isi kitab yang dikarangnya, yaitu Majmu’ al-Syariat al-Kafiyah li
al-awwam.
.
Jaringan
Keulamaan Kiai Shaleh Darat :
Semasa belajar di Makkah, Kiai
Shaleh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di
sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:
1. Kiai
Nawawi Banten, disebut juga Syekh Nawawi al-Bantani.
2. Syekh
Ahmad Khatib.
Ia seorang ulama asal Minangkabau.
Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil
Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH.
Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Ahmad Khatib. Tercatat
ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab Al-Nafahat dan
Al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.
3. Kiai
Mahfuzh a-Tirmasi.
Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati.
Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun
1338 H (1918 M).
4. Kiai
Khalil Bangkalan, Madura.
Ia adalah salah seorang teman dekat
Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. ia belajar di Mekkah sekitar pada tahun 1860 dan
wafat pada tahun 1923.
.
Diajak
pulang oleh Kiai Hadi Girikusumo
Ketinggian ilmu Kiai Shaleh Darat
tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan para
santrinya menjadi para kiai besar tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan
penguasa Mekkah saat Kiai Shaleh Darat bermukim di Mekkah. Ia dipilih menjadi
salah seorang pengajar di Mekkah. Di sinilah Kiai Shaleh Darat bertemu dengan
Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen,
Demak, Jawa Tengah. Ia merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan
Kiai Shaleh Darat ke bumi Semarang.Melihat kehebatan Kiai Shaleh Darat Mbah
Hadi Girikusumo merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah
air untuk mengembangkan islam dan mengajar umat islam di Jawa yang masih awam.
.
Namun karena Kiai Shaleh Darat sudah
diikat oleh penguasa Mekkah untuk menjadi pengajar di Mekkah, sehingga ajakan
pulang itu ditolak. Namun Mbah Hadi nekat, Kiai Shaleh Darat diculik, di ajak
pulang. Agar tidak ketahuaan, saat mau naik kapal untuk pulang ke! Jawa, Kiai
Shaleh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaannya. Namun di tengah
jalan ketahuan, jika Mbah Hadi menculik salah seorang ulama di Masjid Mekkah. Akhirnya
pada saat kapal merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap. Jika ingin
bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda. Para murid Mbah
Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya sedang menghadapi masalah
besar, akhirnya membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan mengumpulkan
dana iuran untuk menebus kesalahan mbah Hadi dan menebus uang ganti kepada
penguasa Mekkah atas kepergian Kiai Shaleh Darat. Akhirnya, mbah Hadi dan Kiai
Shaleh Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat ke Jawa.
.
Mbah Hadi langsung kembali ke
Girikusumo, sedangkan Kiai Shaleh Darat menetap di Semarang, mendirikan
pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam. Sayang sekali,
sepeninggalan Kiai Shaleh Darat, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, kini
di bekas pesantren yang dulu digunakan oleh Kiai Shaleh Darat untuk mengajar
mengaji hanya berdiri sebuah masjid yang masih digunakan untuk menjalankan
ibadah umat islam di kampung Darat Semarang.
.
Tentang Teori Kebebasan Manusia
Ia juga terkenal sebagai pemikir
dalam bidang ilmu kalam. Menurut Nur Kholis Majid, seorang cendikiawan muslim
Indonesia, Kiai Shaleh Darat sangat kuat mendukung paham teologi Asy’ariyyah
dan Maturidiyah. Pembelaannya pada paham ini jelas kelihatan dalam bukunya
Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar al-Tauhid. Di sini ia mengemukakan
penafsirannya tentang sabda Nabi SAW bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam
menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat, yaitu mereka yang berkelakuan
seperti yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW, yakni melaksanakan akaid,
pokok-pokok kepercayaan ahlus sunnah wajama’ah, Asy’aiyah dan Maturidiyah.
.
Selanjutnya dalam teori ilmu kalam
yang berkaitan dengan perbuatan manusia, ia menjelaskan bahwa paham Jabariyah
dan Qadariyah tentang perbuatan manusia adalah sesat. Yang benar adalah paham
Ahlus Sunnah yang berada di tengah antara Jabariyah dan Qodariyah. Sebagai
ulama yang berfikir maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja
keras, setelah itu baru menyerahkan diri secara pasrah kepada Yang Maha Esa. Ia
sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala
nasibnya telah ditaqdirkan Allah SWT. sebaliknya, ia juga tidak setuju dengan
teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas
segala perbuatannya.
.
Sang
Delegator Pesantren
Dalam sejarah pesantren, Kiai Shaleh
Darat layak disebut sebagai “ elegator Pesantren”. Karena ia tidak pernah ikut
membesarkan pesantren orang tuanya, sebagaimana mafhumnya anak-anak kiai. Ia
justru lebih memilih membantu memajukan pesantren orang lain dan membuat
pesantren sendiri, dengan tanpa maksud menobatkan dirinya sebagai pengasuh
pesantren.
.
Karir kekiaian Kiai Shaleh Darat
diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren Salatiyang yang terletak
di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad
18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kiai Ahmad ( Muhammad ) Alim, Kiai
Muhammad Alim ( putra Mbah Kyai Ahmad Alim ), dan Kiai Zain al Alim ( Muhammad
Zein, juga putra Mbah Kyai Ahmad Alim ). Dalam perkembangan selanjutnya
pesanten ini dipercayakan kepada Kiai Zain al Alim. Sementara Mbah Kiai Ahmad (
Muhammad )Alim mengasuh sebuah pesantren, belakangan bernama al-Iman, di desa Bulus,
Kecamatan Gebang. Adapun Kiai Muhamad Alim ( putra Mbah Kyai Ahmad Alim )
mengembangkan pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan
pesantren al-Anwar. Jadi kedudukan Kiai Shaleh Darat adalah sebagai pengajar
yang membantu Kiai Zain al Alim ( Muhammad Zein ).
.
Pesantren Salatiyang sendiri lebih
menfokuskan pada bidang penghafalan al-Qur’an, di samping mengajar kitab
kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, Kiai Shaleh Darat diperbantukan untuk
mengajar kitab kuning, seperti fiqh, tafsir dan nahwu Sharaf, kepada para
santri yang sedang menghafal al-Qur’an.
Di antara santri jebolan Salatiyang
adalah Kiai Baihaqi (Magelang). Kiai Ma’aif, Wonosobo, Kiai Muttaqin, Lampung
Tengah, Kiai Hidayat (Ciamis) Kiai Haji Fathulah (Indramayu), dan lain sebagainya.
.
Tidak jelas, berapa lama Kiai Shaleh
Darat mengajar di pesantren Salatiyang. Sejarah hanya mencatat, bahwa pada
sekitar 1870-an Kiai Shaleh Darat mendirikan sebuah pesantren baru di Darat,
Semarang. Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya , alHikam, Yang ditulis
rampung dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M.
pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah pesantren
Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai Syada’ dan Kiai
Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula Kiai Shaleh Darat
pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.
.
Selama mengasuh pesanten, Kiai
Shaleh Darat dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena
factor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggalan Kiai Shaleh
Darat, pada 1903 M. konon bersamaan meninggalnya Kiai Shaleh Darat, salah
seorang santri seniornya, Kiai Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri
dari Pesantren Darat ini ke Solo. Kiai Idris inilah yang kemudian menghidupkan
kembali pondok pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh Kiai Jamsari.
.
Ada versi lain yang menyebutkan
bahwa pesantren yang didirikan oleh Kiai Shaleh Darat bukanlah pesantren dalam
arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat
hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu yang diikuti oleh parasantri
kalong. Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan pesantren Darat dengan
pesantren Mangkang, dimana Kiai Shaleh Darat pernah belajar di sana, bisa
mempengaruhi tingkat ketawadlu’an kiai senior.
.
Santri-santrinya
Di antara tokoh yang pernah belajar
kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad
Dahlan (pendiri Muhamadiyah), Kiai R. Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w.
1329 H), Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat,
Kiai Idris (nama aslinya Slamet) Solo, Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang, yang
menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya,
untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari kitab Majmu’at
al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat; Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai tahir,
penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli kauman Semarang;
Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang; Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta; KH.
Dahlan Watucongol Muntilan Magelang, Kiai Yasin Rembang; Kiai Ridwan Ibnu
Mujahid Semarang; Kiai Abdus Shamad Surakarta; Kiai Yasir Areng Rembang, serta
RA Kartini Jepara.
Persinggungannya
dengan A Kartini
Adalah sosok yang tidak terikat
dengan alian-aliran dalam Islam. Ia justru sangat menghargai aliran yang
berkembang saat itu. Ia lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (dasar) Islam,
dan bukan furu’iyyah (cabang). Lebih dari itu, Kiai Shaleh Darat dikenal
sebagai sosok penulis tafsir al-Quran dengan menggunakan bahasa Jawa. Ia sering
memberikan pengajian, khusunya tafsir al-Quran di beberapa pendopo Kabupaten di
sepanjang pesisir Jawa.
.
Sampai suatu ketika RA Kartini
berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung
pengajian bulanan, khususnya untuk anggota keluarga. RA Kartini ikut
mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain di balik hijab
(tabir/tirai). RA Kartini merasa tertarik tentang materi yang disampaikan pada
saat itu, tafsir al-Fatihah, oleh Kiai Shaleh Darat. Setelah selesai pengajian,
RA. Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kiai
Shaleh Darat. Ia mengemukakan: “saya merasa perlu menyampai! kan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada rormo kiai dan rasa syukur yang sebesar-besarnya
kepada Allah SWT atas keberanian romo kiai menerjemahkan surah al-Fatihah ke
dalam bahasa Jawa sehingga mudah difahami dan dihayati oleh masyarakat awam,
seperti saya. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu, sebab kata mereka
al-Quran tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.” Lebih lanjut Kartini
menjelaskan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti
sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini menjadi terang benderang
sampai kepada makna yang tersirat sekalipun, karena romo kiai menjelaskannya
dalam bahasa Jawa yang saya fahami.”
.
Kiai Shaleh Darat selalu menekankan
kepada muridnya agar giat menimba ilmu. Karena intisari ajaran al-Quran,
menurutnya,, adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya
untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.